LiNGGA, Potretnusantara.id – Bimbingan belajar (bimbel) telah menjadi fenomena “mainstream” dalam dunia pendidikan, terutama di kalangan siswa dan orang tua yang mencari solusi cepat untuk meningkatkan “academic performance”.
Bimbel kini semakin menjadi dalam dunia pendidikan, terutama di tengah persaingan akademik yang semakin intens. Melalui metode pendekatan yang lebih personal dan fokus, bimbel mampu memberikan perhatian lebih kepada setiap siswa, memungkinkan mereka mengatasi “learning gaps” yang mungkin tidak terjangkau dalam sistem pendidikan formal.
Dengan materi yang disesuaikan, latihan soal yang lebih intens, serta pengajaran yang inovatif, bimbel menyediakan cara belajar yang lebih fleksibel dan efektif.
Perlu disadari walaupun bimbel menawarkan banyak keuntungan dan keberhasilan, sejatinya tetap bergantung pada kedisiplinan siswa dan kualitas pengajaran yang diberikan.
Sebagai “game-changer”, bimbel tidak hanya mendongkrak nilai akademik, tetapi juga mengubah cara siswa belajar dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan pendidikan yang lebih besar.
Keunggulan utama bimbel adalah pola pendekatan yang lebih “customized” dan terfokus pada kebutuhan siswa secara individual. Konteks ini, bimbel mengadopsi prinsip “Sic parvis magna” yang berarti “besar dimulai dari yang kecil”. Sebuah ungkapan Latin yang mendeskripsikan bahwa perubahan besar dalam prestasi akademik sering kali dimulai dengan perhatian kecil dan khusus yang diberikan kepada setiap siswa.
Aristoteles seorang filsuf Yunani mengatakan bahwa, “The roots of education are bitter, but the fruit is sweet.” Artinya dengan kelas yang lebih kecil dan metode yang fleksibel, bimbel membantu siswa mengatasi kesulitan dalam memahami konsep-konsep yang kompleks, sehingga mereka dapat menuai buah manis berupa prestasi akademik yang lebih baik.
Pola pendekatan bimbel juga menyediakan “comprehensive materials”, seperti latihan soal, simulasi ujian, dan “exam strategies”. Sejalan dengan Aristoteles, Albert Einstein juga menggambarkan bahwa pendidikan merupakan “Education is not the learning of facts, but the training of the mind to think.” Sebuah pendekatan yang lebih fokus pada pemahaman dan “critical thinking”.
Pun perlu dicermati bahwa tidak semua siswa yang mengikuti bimbel mengalami “significant improvement” dalam prestasi akademik. Sebab efektivitas bimbel tidak bersifat universal dan secara general bergantung pada faktor kedisiplinan siswa, kualitas pengajar, kesenjangan ekonomi dan ketergantungan pada bimbel.
Bimbel hanyalah alat bantu, keberhasilan tetap bergantung pada “self-discipline” siswa. Sebagaimana diutarakan oleh pemikiran Mahatma Gandhi, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others.” Maknanya ialah siswa harus menemukan motivasi internal untuk belajar demi kebaikan dirinya sendiri, bukan semata-mata mengandalkan bimbel. Hal ini sejalan dengan teori “self-determination” yang dikemukakan oleh ahli psikologi Edward Deci dan Richard Ryan, yang menekankan pentingnya motivasi intrinsik dalam proses belajar.
Tidak semua lembaga bimbel memiliki pengajar yang “qualified”. Sebagaimana yang diungkapkan oleh John Dewey, “Education is not preparation for life; education is life itself.” Pengajaran yang berkualitas menjadi esensial dalam memaksimalkan potensi siswa, karena proses belajar bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga tentang pengalaman dan jam terbang yang membentuk karakter dan keterampilan berpikir kritis.
Biaya bimbel yang signifikn menjadi “barrier” bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Tentu hal ini akan ikut andil dalam menciptakan ketidaksetaraan.
Nelson Mandelamengungkapkan bahwa “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Artinya jika akses terhadap pendidikan tambahan seperti bimbel hanya tersedia bagi mereka yang mampu, maka “senjata” ini tidak dapat digunakan secara merata.
Meretisir teori “cultural capital” dari Pierre Bourdieu, bahwa kesenjangan social ekonomi dapat mempengaruhi akses dan keberhasilan di dunia pendidikan.
Tak bisa dipungkiri apabila berfokus hanya pada bimbel, ada tendensi risiko bahwa siswa menjadi terlalu bergantung pada bimbel dan kehilangan kemandirian belajar.
Jika terjadi demikian maka semangat yang diharapkan oleh Helen Keller seorang penulis dan pemenang dari Honorary University Degrees Women’s Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom, The Lions Humanitarian Award. Yakni “Optimism is the faith that leads to achievement.”
Ketergantungan pada bimbel dapat melemahkan keyakinan siswa terhadap kemampuan belajarnya sendiri, yang pada akhirnya berisiko mengurangi “self-efficacy”, sebuah konsep yang dikembangkan oleh psikolog Albert Bandura, yang mengacu pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengatasi tantangan.
Sebagai “game-changer”, seharusnya bimbel mampu meningkatkan performa akademik secara “real” terutama bagi siswa yang membutuhkan dukungan 12 psikologi pendidikan seperti “constructivism” yang dipopulerkan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky mengajarkan bahwa pengetahuan harus dibangun secara aktif oleh siswa, bukan hanya ditransfer dari pendidik ke siswa. Oleh sebab itu, bimbel harus lebih dari sekadar tempat mengulang materi ujian, tetapi juga sebagai sarana untuk mengembangkan higher-order thinking skills.
Bagi siswa dan orang tua yang memilih bimbel, pengalaman ini harus dimanfaatkan tidak hanya untuk meningkatkan nilai akademik, tetapi juga untuk menumbuhkan “self-reliance” dan “confidence building”. Sehingga ahirnya bimbel akan menjadi pelengkap yang harmonis dalam perjalanan pendidikan, bukan sekadar jalan pintas menuju performa akademik yang gemilang.(Tbn)